Sunday, 11 January 2009

Papa...

Usia Papa telah mencapai 70 tahun, namun tubuhnya masih kuat. Papa mampu mengendarai sepeda ke pasar yang jauhnya lebih kurang 2 kilometer untuk belanja keperluan sehari-hari. Sejak meninggalnya ibu pada 6 tahun lalu, Papa sendirian di kampung. Oleh karena itu kami kakak-beradik 5 orang bergiliran menjenguknya.

Kami semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari kampung halaman di Teluk Intan. Sebagai anak sulung, saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Setiap kali saya menjenguknya, setiap kali itulah isteri saya mengajaknya tinggal bersama kami di Kuala Lumpur.

" Nggak usah. Lain kali saja !" jawab Papa.

Jawaban itu yang selalu diberikan kepada kami saat mengajaknya pindah. Kadang-kadang Papa mengalah dan mau menginap bersama kami, namun 2 hari kemudian dia minta diantar balik. Ada-ada saja alasannya. Suatu hari Januari lalu, Papa mau ikut saya ke Kuala Lumpur. Kebetulan sekolah masih libur, maka anak-anak saya sering bermain dan bersenda-gurau dengan kakek mereka. Memasuki hari ketiga, ia mulai minta pulang. Seperti biasa, ada-ada saja alasan yang diberikannya.

" Saya sibuk, Pa. Tak boleh ambil cuti. Tunggulah sebentar lagi.
Akhir minggu ini saya akan antar Papa," balas saya.

Anak-anak saya ikut membujuk kakek mereka.

" Biarlah Papa pulang sendiri jika kamu sibuk. Tolong belikan tiket bus saja untuk Papa,"
kata Papa yang membuat saya bertambah kesal.

Memang Papa pernah berkali-kali pulang naik bus sendirian.

" Nggak usah saja, Pa," bujuk saya saat makan malam.

Papa diam dan lalu masuk ke kamar bersama cucu-cucunya. Esok paginya saat saya hendak berangkat ke kantor, Papa sekali lagi minta saya untuk membelikannya tiket bus.

" Papa ini benar-benar nggak mau mengerti ya, Pa. Saya sedang sibuk, sibuuukkkk !!!" balas saya terus keluar menghidupkan mobil.

Saya tinggalkan Papa terdiam di muka pintu. Sedih hati saya melihat mukanya.

Di dalam mobil, isteri saya lalu berkata, " Mengapa bersikap kasar kepada Papa ?
Bicaralah baik-baik ! Kasihan kha n dia !"

Saya terus membisu. Sebelum isteri saya turun setibanya di kantor, dia berpesan agar saya
penuhi permintaan Papa.

" Jangan lupa, Ko. Belikan tiket buat Papa," katanya singkat.

Di kantor saya termenung cukup lama. Lalu saya meminta ijin untuk keluar kantor membeli tiket bus buat Papa.

Jam 11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta Papa untuk bersiap.
" Bus berangkat pk 14.00," kata saya singkat.

Saya memang saat itu bersikap agak kasar karena didorong rasa marah akibat sikap keras kepala Papa. Papa tanpa banyak bicara lalu segera berbenah. Dia memasukkan baju-bajunya ke dalam tas dan kami berangkat. Selama dalam perjalanan, kami tak berbicara sepatah kata pun.

Saat itu Papa tahu bahwa saya sedang marah. Ia pun enggan menyapa saya. Setibanya di stasiun, saya lalu mengantarnya ke bus. Setelah itu saya pamit dan terus turun dari bus.

Papa tidak mau melihat saya, matanya memandang keluar j endela. Setelah bus berangkat, saya lalu kembali ke mobil. Saat melewati halaman stasiun, saya melihat tumpukan kue pisang di atas meja dagangan dekat stasiun.

Langkah saya lalu terhenti dan teringat Papa yang sangat menyukai kue itu. Setiap kali ia pulang ke kampung, ia selalu minta dibelikan kue itu. Tapi hari itu Papa tidak minta apa pun.

Saya lalu segera pulang. Tiba di rumah, perasaan menjadi tak menentu. Ingat pekerjaan di kantor, ingat Papa yang sedang dalam perjalanan, ingat isteri saya yang sedang berada di kantornya.

Malam itu sekali lagi saya mempertahankan ego saya, saat isteri meminta saya menelpon Papa di kampung, seperti yang biasa saya lakukan setiap kali Papa pulang dengan bus. Malam berikutnya, isteri bertanya lagi apakah Papa sudah saya hubungi.

" Nggak mungkin belum tiba," jawab saya sambil meninggikan suara.

Dini hari itu, saya menerima telepon dari rumah sakit Teluk Intan.

" Papa kamu sudah tiada," kata sepupu saya di sana.
" Beliau meninggal 5 menit yang lalu setelah mengalami sesak nafas sore
tadi."

Sepupu saya lalu meminta saya agar segera pulang.
Saya lalu jatuh terduduk di lantai dengan gagang telepon masih di tangan.

Isteri lalu segera datang dan bertanya, "Ada apa, Ko ?"

Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah agak lama baru bisa berkata, "Papa sudah tiada !!"

Setibanya di kampung, saya tak henti-hentinya menangis. Barulah saat itu saya sadar betapa berharganya seorang Papa dalam hidup ini. Kue pisang, kata-kata saya kepada Papa, sikapnya sewaktu di rumah, kata-kata isteri mengenai Papa, silih berganti menyerbu pikiran.

Saya sangat merasa kehilangan Papa yang pernah menjadi tempat saya mencurahkan perasaan, seorang teman yang sangat pengertian dan Papa yang sangat mengerti akan anak-anaknya. Mengapa saya tidak dapat merasakan perasaan seorang tua yang merindukan belaian kasih sayang anak-anaknya sebelum meninggalkannya buat selama-lamanya.

Sekarang 5 tahun telah berlalu. Setiap kali pulang ke kampung, hati saya bagai terobek-robek saat memandang nisan di atas pusara Papa. Saya tidak dapat menahan air mata jika teringat semua peristiwa pada saat-saat akhir saya bersamanya. Saya merasa sangat bersalah dan tidak dapat memaafkan diri ini.

Benar kata orang, kalau hendak berbakti sebaiknya sewaktu Papa dan Mama masih hidup. Jika sudah tiada, menangis airmata darah sekalipun tidak berarti lagi.

Kepada pembaca yang masih memiliki orangtua, jagalah perasaan mereka.
Kasihilah mereka sebagaimana mereka merawat kita sewaktu kecil dulu.

No comments: